#P2 - Aku Manusia Lemah, Baperan, Mudah Sakit Hati, Tapi Tak Ingin Menyakiti

Masa kecilku termasuk masa kecil yang cukup suram. Ingatan tentang pertengkaran orang tua seperti tontonan sehari-hari. Kadang terjadi pagi, kadang siang, paling horror kalau terjadi di malam hari. Permasalahan yang mereka ributkan tak pernah benar-benar Aku pahami. Mulai dari masalah wanita lain, sampai masalah santet. 

Aku tidak tahu pasti mulai kapan, tapi mulai Aku bisa mengingat sesuatu, meskipun itu samar-samar, orang tuaku memiliki pondok. Mereka memiliki santri yang cukup banyak untuk ukuran pondok kecil yang berada di plosok. Jadi, bisa dikatakan Aku memiliki didikan anak pondok yang penuh dengan nilai-nilai agama Islam.

Bertindak sopan, tertib dalam beribadah, rajin mengaji, dan patuh terhadap orang tua adalah keharusan saat itu.

Dari didikan yang seperti itu, Aku memiliki sifat yang cukup unik untuk ukuran anak kecil. Aku sering menanyakan hal-hal yang tidak banyak orang menanyakan. Misal, "Dimana Tuhan berada? Ada berapa mata malaikat pencabut nyawa? Seberapa besar tangan Tuhan?". Semua pertanyaan itu dilarang oleh Ibuku untuk dilontarkan ke manusia. Saat itu pula Aku disuruh (mau menulis dipaksa terlihat cukup kaku) untuk ber-syahadat.

Bisa dikatakan, semasa kecil hidupku benar-benar seperti boneka. Harus ini, harus itu, tidak boleh ini, tidak boleh itu, dan itu semua berdasarkan hukum yang berlaku di agama Islam.

Meskipun kondisi didikanku yang terlihat sangat tertib dan penuh aturan dengan nilai norma yang tinggi, kenyataannya tidak ketika melihat kondisi bagaimana kedua orang tuaku berkomunikasi. Seolah dalam hari-hari mereka selalu ada rasa curiga, ketidakjujuran, kebencian, dan dendam.

Satu waktu siang hari menjelang sore, kedua orang tuaku adu argumen sampai akhirnya menjadi pertengkaran hebat yang kepalaku tidak sanggup dan tak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melihat bagaimana Ibuku memukulkan kipas angin ke kepalanya berulang-ulang. Aku saat itu tidak ingat betul, apakah Aku menangis, atau hanya diam saja, Aku tak tahu pasti.

Ibuku berteriak-teriak, menyebut-nyebut nama Tuhannya, nama Nabinya, sambil memukul-mukul kipas angin ke kepalanya. Itu terjadi begitu saja sampai akhirnya Ibuku kejang-kejang dengan jari-jari tanga dan kaki kaku menggemgam. Ayahku sigap, sambil membaca sesuatu yang Aku sendiri tidak faham apa yang dia ucapkan. Ibuku kembali normal. Selesailah pertengkaran.

Hal seperti itu terjadi berulang-ulang, jangan tanya berapa kali, Aku sudah lupa. Bahkan detail pertengkaran mereka Aku sudah banyak yang lupa seperti apa. Aku bersyukur akan hal itu.

Dengan masa lalu itu, Aku sangat membenci suara keras dalam bentuk bentakan. Suara penuh amarah dan kebencian, Aku benci hal itu. Ketika Aku melihat hal itu, bisa Aku pastikan Aku akan menjauh dari lokasi saat itu juga.

Akibat dari hal itu juga, Aku mudah tersinggung dengan sikap orang lain yang kurang pas denganku. Aku tahu, ukuran pas dan tidak adalah telatif, namun yang Aku maksudkan adalah sikap yang tidak sesuai dengan ucapan mereka. Tidak komitmen. Bermain-main dengan ucapan. Bermain-main dengan perasaan orang lain.

Mungkin semua orang akan mengatakan, "Kalau begitu ya sama dong, siapa juga mau diperlakukan seperti itu?". Permasalahannya, banyak yang tidak sadar saat mereka melakukan hal itu dan itu dilakukan berulang-ulang seolah tanpa penyesalan.

Itu pokok permasalahannya. Bisa jadi, Aku juga pernah melakukan hal serupa yang menyakiti hati orang lain. Who knows?.

Dalam proses pertumbuhanku, proses belajarku, Aku semakin faham (dari sudut pandangku), bahwa manusia memang rumit. Aku dulu menganggap bahwa Ibuku lah yang jadi korban, ternyata Ayahku lah korbannya. Itu mulai terbuka setelah kematian Ayahku. Menyedihkan.

Sekarang, di umur mau kepala tiga, Aku juga demikian tertekan dengan lingkungan. Aku masih belum tahu bagaimana seharusnya bersikap dan bagaimana seharusnya berucap. Dalam prosesnya, Aku selalu berusaha memberikan timbal balik yang positif ke pada orang lain, mulai dari cara berbicara, sampai cara bagaimana memperlakukan orang lain.

Saat Aku beranggapan bahwa kata jancok normal dipakai dalam setiap komunikasi dengan lawan bicaraku yang seolah terbiasa menggunakannya untukku, namun saat Aku menggunakan kata tersebut untuknya, malah dia sakit hati dan bersikap yang tidak bisa Aku pahami.

Atau dia hanya ingin menggunakannya untuk orang lain namun tidak untuk dirinya sendiri? Aku tidak tahu.

Aku mencoba bersikap peduli terhadap orang lain, dan saat Aku mencoba menanyakan sesuatu, dia seolah tidak peduli dengan apa yang Aku cari dan butuhkan. Namun, ketika akhirnya Aku mengikuti cara mereka memperlakukanku, Aku seolah menjadi satu objek yang tidak berharga bagi mereka. Lagi-lagi Aku tidak memahami bagaimana seharusnya manusia bertindak dan berkata.

Aku bingung kepada siapa untuk menyampaikan hal seperti ini. Kepada teman kerjaku sudah, namun juga tidak ada manfaat yang bisa diambil. Kepada kakakku juga sudah, hanya bisa didengarkan saja. Ya, sampai situ saja.

Lalu bagaimana seharusnya memperbaiki hal seperti ini? Komunikasikah?

Aku sudah menyampaikan segala sesuatu yang menggangguku, hasilnya NIHIL. Tidak ada satupunn yang menanggapinya. Berlalu begitu saja. Mungkin anggapan mereka Aku terlalu sensitif? Bisa jadi, Akupun tidak akan menolak jika dibilang seperti itu, faktanya memang seperti itu.

Aku selalu memiliki perang batin. Benarkah yang Aku lakukan ini? Bagaimana seharusnya Aku bertindak? Bagaimana seharusnya Aku bersikap? Aku belum tahu.

Surabaya, Selasa, 7 April 2020, 20.20 WIB.


Komentar